Saya bukanlah seniman,
sejarahwan ataupun budayawan, tetapi saya hanyalah salah satu dari masyarakat
bangsa karo yang mencintai budaya karo, melalui tulisan ini saya ingin lebih
memperkenalkan suku karo kepada khalayak umum dan juga sebagai sarana bagi saya
untuk lebih memahami budaya dari suku saya sendiri.karena dengan membuat
tulisan ini saya harus membaca banyak artikel & buku mengenai suku karo
Siapa yangtak kenal
dengan pohon enau/nira mulai dari pohon hingga daunnya semuanya bisa
dimanfaatkan, pada masyarakat karo phon enau banyak manfaatnya mulai dari
ijuknya yang bisa di jadikan untuk atap rumah hingga yang paling terkenal air
niranya yang dijadikan tuak. Masyarakat karo memiliki cerita legenda tentang
asal usul pohon enau ini.
menurut cerita
tersebut pohon enau merupakan jelmaan dari seorang gadis bernama Beru Sibou. Yang
menolong abangnya yang dipasung oleh penduduk suatu negri sebagai akibat dari dari lilitan hutang judi yang tidak bisa
dibayar. Berikut ini adalah ceritanya
Alkisah, pada zaman
dahulu kala di sebuah desa yang terletak di Tanah Karo, Sumatera Utara,
hiduplah sepasang suami-istri dengan dua orang anaknya yang masih kecil. Anak yang pertama seorang laki-laki dan bernama
Tare Iluh, sedangkan anak kedua adalah seorang anak perempuan bernama Beru
Sibou. Keluarga kecil itu tampak hidup rukun dan bahagia.
Namun, kebahagiaan
itu tidak berlangsung lama, karena sang suami sebagai kepala rumah tangga
meninggal dunia, setelah menderita sakit beberapa lama. Sepeninggal suaminya,
sang istri-lah yang harus bekerja keras, membanting tulang setiap hari untuk
menghidupi kedua anaknya yang masih kecil. Oleh karena setiap hari bekerja
keras, wanita itu pun jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Si Tare dan
adik perempuannya yang masih kecil itu, kini menjadi anak yatim piatu.
Untungnya, orang tua mereka masih memiliki sanak-saudara dekat. Maka sejak itu,
si Tare dan adiknya diasuh oleh bibinya, adik dari ayah mereka.
Waktu terus
berjalan. Si Tare Iluh tumbuh menjadi pemuda yang gagah, sedangkan adiknya,
Beru Sibou, tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sebagai seorang pemuda,
tentunya Si Tare Iluh sudah mulai berpikiran dewasa. Oleh karena itu, ia
memutuskan pergi merantau untuk mencari uang dari hasil keringatnya sendiri,
karena ia tidak ingin terus-menerus menjadi beban bagi orang tua asuhnya.
“Adikku, Beru!”
demikian si Tare Iluh memanggil adiknya.
“Ada apa, Bang!”
jawab Beru.
“Kita sudah lama
diasuh dan dihidupi oleh bibi. Kita sekarang sudah dewasa. Aku sebagai anak
laki-laki merasa berkewajiban untuk membantu bibi mencari nafkah. Aku ingin
pergi merantau untuk mengubah nasib kita. Bagaimana pendapat Adik?” tanya Tare
Iluh kepada adiknya.
“Tapi, bagaimana
dengan aku, Bang?” Beru balik bertanya.
“Adikku! Kamu di
sini saja menemani bibi. Jika aku sudah berhasil mendapat uang yang banyak, aku
akan segera kembali menemani adik di sini,” bujuk Tare kepada adiknya.
“Baiklah, Bang!
Tapi, Abang jangan lupa segera kembali kalau sudah berhasil,” kata Beru
mengizinkan abangnya, meksipun dengan berat hati.
“Tentu, Adikku!”
kata Tare dengan penuh keyakinan.
Keesokan harinya,
setelah berpamitan kepada bibi dan adiknya, si Tare Iluh berangkat untuk
merantau ke negeri orang.
Sepeninggal
abangnya, Beru Sibou sangat sedih. Ia merasa telah kehilangan segala-segalanya.
Abangnya, Tare Iluh, sebagai saudara satu-satunya yang sejak kecil tidak pernah
berpisah pun meninggalkannya. Gadis itu hanya bisa berharap agar abangnya
segera kembali dan membawa uang yang banyak.
Sudah
berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun ia menunggu abangnya,
tapi tak kunjung datang jua. Tidak ada kabar tentang keadaan abangnya. Ia tidak
tahu apa yang dilakukannya di perantauan.
Sementara itu, Tare
Iluh di perantauan bukannya mencari pekerjaan yang layak, melainkan berjudi. Ia
beranggapan bahwa dengan memenangkan perjudian, ia akan mendapat banyak uang
tanpa harus bekerja keras. Tetapi sayangnya, si Tare Iluh hanya sekali menang
dalam perjudian itu, yaitu ketika pertama kali main judi. Setelah itu, ia terus
mengalami kekalahan, sehingga uang yang sudah sempat terkumpul pada akhirnya
habis dijadikan sebagai taruhan. Oleh karena terus berharap bisa menang dalam
perjudian, maka ia pun meminjam uang kepada penduduk setempat untuk uang
taruhan. Tetapi, lagi-lagi ia mengalami kekalahan. Tak terasa, hutangnya pun
semakin menumpuk dan ia tidak dapat melunasinya. Akibatnya, si Tare Iluh pun
dipasung oleh penduduk setempat.
Suatu hari, kabar
buruk itu sampai ke telinga si Beru Sibou. Ia sangat sedih dan prihatin
mendengar keadaan abangnya yang sangat menderita di negeri orang. Dengan bekal
secukupnya, ia pun pergi mencari abangnya, meskipun ia tidak tahu di mana
negeri itu berada. Sudah berhari-hari si Beru Sibou berjalan kaki tanpa arah
dan tujuan dengan menyusuri hutan belantara dan menyebrangi sungai, namun belum
juga menemukan abangnya.
Suatu ketika, si
Beru Sibou bertemu dengan seor ang kakek tua.
“Selamat sore, Kek!”
“Sore, Cucuku!” Ada
yang bisa kakek bantu?”
“Iya, Kek! Apakah
kakek pernah bertemu dengan abang saya?”
“Siapa nama
abangmu?”
“Tare Iluh, Kek!”
“Tare Iluh…? Maaf,
Cucuku! Kakek tidak pernah bertemu dengannya. Tapi, sepertinya Kakek pernah
mendengar namanya. Kalau tidak salah, ia adalah pemuda yang gemar berjudi.”
“Benar, Kek! Saya
juga pernah mendengar kabar itu, bahkan ia sekarang dipasung oleh penduduk
tempat ia berada sekarang. Apakah kakek tahu di mana negeri itu?
“Maaf, Cucuku! Kakek
juga tidak tahu di mana letak negeri itu. Tapi kalau boleh, Kakek ingin
menyarankan sesuatu.”
“Apakah saran Kakek
itu?”
“Panjatlah sebuah
pohon yang tinggi. Setelah sampai di puncak, bernyanyilah sambil memanggil nama
abangmu. Barangkali ia bisa mendengarnya.”
Setelah menyampaikan
sarannya, sang Kakek pun segera pergi. Sementara si Beru Sibou, tanpa berpikir
panjang lagi, ia segera mencari pohon yang tinggi kemudian memanjatnya hingga
ke puncak. Sesampainya di puncak, si Beru Sibou segera bernyanyi dan memanggil-manggil
abangnya sambil menangis. Ia juga memohon kepada penduduk negeri yang memasung
abangnya agar sudi melepaskannya.
Sudah berjam-jam si
Beru Sibou bernyanyi dan berteriak di puncak pohon, namun tak seorang pun yang
mendengarnya. Tapi, hal itu tidak membuatnya putus asa. Ia terus bernyanyi dan
berteriak hingga kehabisan tenaga. Akhirnya, ia pun segera mengangkat kedua
tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
“Ya, Tuhan!
Tolonglah hambamu ini. Aku bersedia melunasi semua hutang abangku dan merelakan
air mata, rambut dan seluruh anggota tubuhku dimanfaatkan untuk kepentingan
penduduk negeri yang memasung abangku.”
Baru saja kalimat
permohonan itu lepas dari mulut si Beru Sibou, tiba-tiba angin bertiup kencang,
langit menjadi mendung, hujan deras pun turun dengan lebatnya diikuti suara
guntur yang menggelegar. Sesaat kemudian, tubuh si Beru Sibou tiba-tiba
menjelma menjadi pohon enau. Air matanya menjelma menjadi tuak atau nira yang
berguna sebagai minuman. Rambutnya menjelma menjadi ijuk yang dapat
dimanfaatkan untuk atap rumah. Tubuhnya menjelma menjadi pohon enau yang dapat
menghasilkan buah kolangkaling untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan atau
minuman.
Begitulah cerita
“Kisah Pohon Enau” dari daerah Sumatera Utara. Hingga kini, masyarakat Tanah
Karo meyakini bahwa pohon enau adalah penjelmaan si Beru Sibou. Untuk mengenang
peristiwa tersebut, penduduk Tanah Karo pada jaman dahulu setiap ingin menyadap
nira, mereka menyanyikan lagu enau.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Apakah cerita ini benar - benar terjadi atau ini hanya sekedar cerita dongeng, tinggal kitalah yang menilainya. Tapi satu yang pasti, cerita ini adalah milik masyarakat suku karo
I am Indonesia and I am Karo
Mejuah - juah man banta kerina
R.G.T
Apakah cerita ini benar - benar terjadi atau ini hanya sekedar cerita dongeng, tinggal kitalah yang menilainya. Tapi satu yang pasti, cerita ini adalah milik masyarakat suku karo
I am Indonesia and I am Karo
Mejuah - juah man banta kerina
R.G.T
No comments :
Post a Comment